Penampilan Gabriel, pemain sape Dayak dari Bengkayan Kalbar, Vanessa (vocal dari Canada) dan Ramdandan Salafia (pemain banjo dari Italia) dalam Festival Glintung Kultur 2019, Jumat (26/4/2019). (Foto: Glintung Kultur for BATUKITA.com)
BATUKITA, Kota Malang - Kampung Glintung RW 23 Kelurahan Purwantoro Kota Malang Jawa Timur terus memperkaya daya tariknya. Setelah Glintung terkenal sebagai kampung Glintung Go Green (3G), di semester pertama 2019 ini Glintung merintis program besar Glintung Kultur.
Ya, Glintung Kultur bertujuan meningkatkan produktivitas masyarakat secara menyeluruh. Kegiatan utama melalui seni budaya berwujud pagelaran, barang kerajinan maupun edukasi budaya. Kegiatan budaya itu dilakukan dengan tetap menjaga tradisi turun temurun budidaya tanaman dan menjaga air.
Metode yang digunakan adalah partisipatif, terintegerasi, dengan pengembangan aset maupun potensi. Melalui program ini, diharapkan masyarakat berdaya dalam berbagai aspek kehidupan untuk mencapai kemandirian, dan berkontribusi dalam usaha pembangunan daerah.
Kegiatan peluncuran Glintung Kultur dilakukan Jumat-Sabtu (26-27 April 2019). Launching diisi panggung budaya, bazar UMKM, Kirab Budaya dan Sarasehan.
Untuk panggung budaya, digelar mulai pukul 19.00. Pengisi acara antara lain Ali Gardy Bertiga (Situbondo), Unen-Unen Rengel (Tuban), Ramnandan Salafia (banjo player, Italia), Gabriel Kevin Drannoktah (pemain sape). Jaga ada Anindita Rosa Guretna (vocal), Monggo Kerso Percussion (Malang), Teater Celoteh (Malang), The Maspoh (Malang) serta Caca Nini Mranggi (penari difable, Jogja).
Dari kreativitas warga, ada penampilan Teater Telulikur (Glintung), Karawitan (Glintung), Bapang (Glintung), Beskalan (Glintung), Kucingan (Glintung), Tari Topeng Malang-an (Glintung) dan Rampak (Glintung).
"Program utama dari Glintung Kultur adalah pengembangan seni budaya. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya anak muda yang memiliki potensi dan kemampuan seni budaya. Meliputi seni tari, musik, teater dan kerajinan," jelas Agus Januar Sawer, Ketua Pelaksana Launching Glitung Kultur.
Tahap awal yang sudah mulai dilestarikan dan dikembangkan di kampung urban ini adalah kesenian tari topeng. Anak-anak segala usia diajarkan untuk mencintai dan mempelajari Tari Topeng yang menjadi ciri khas budaya Malang. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pembelajaran kesenian Tari
Topeng rutin diselenggarakan setiap hari Minggu. Tidak hanya menari , anak-anak sudah mulai diajarkan bagaimana cara membuat Topeng Malang-an.
Tentang tari topeng yang ada di Malang ini, menurut Drs Robby Hidajat M.Sn dalam Wayang Topeng Malang, laporan otentik tentang wayang topeng ditulis oleh Pigeaud (1938) dalam Javaanse Volksvertoningen. Tulisan Pigeaud ini bukan berarti menafikan budaya topeng yang merupakan budaya tua, setua usia manusia.
Dalam buku Javaanse Volksvertoningen, Pigeaud mencatat cerita Bupati Malang Adipati Ario Suriodiningrat. Bahwa pada 1928 di Kabupaten Malang terdapat pemain-pemain topeng terkenal dari Desa Pucangsongo, Tumpang. Topengnya dibuat oleh perajin di Polowijen yang dulu masuk Kecamatan Karangploso. Tokoh wayang topeng dari Polowijen ini bernama Reni.
Selain tari topeng, warga juga sudah belajar dan mengembangkan kesenian karawitan dan membatik. Untuk karawitan banyak dilakukan oleh kaum ibu. Jadwal latihan mereka seminggu dua kali.
Sementara untuk membatik dilakukan oleh kaum ibu dan remaja putri. Aplikasi membatik diterapkan untuk produk-produk jilbab, pasmina dan scraf. Diharapkan produk-produk batik dari kampung ini nantinya mampu memberi nilai ekonomi bagi warga.
Salah satu aktivitas budaya yang juga sudah ditumbuhkan kembali di kampung Glintung Kultur yaitu permainan tradisional. Di era globalisasi ini, banyak anak muda yang kecanduan dan tidak bisa lepas dari gawai (HP), sehingga tidak muncul kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitar.
Pengembangan aktivitas permainan tradisional menjadi sebuah media untuk mengembalikan rasa peduli dan sadar terhadap lingkungan sekitar. Serta mengembalikan pola interaksi sosial yang sehat di masyarakat
Kegiatan permainan tradisional yang mulai dipopulerkan kembali ke generasi muda adalah permainan egrang. Setiap Minggu sore, anak-anak dan masyarakat kampung diperkenalkan dan diajak bermain egrang. Tumbuh antusiasme yang tinggi dari anak-anak dan warga kampung dan diharapkan memberi sumbangsih mengurangi kecanduan mereka terhadap gawai.
Caca Nini Mranggi (penari difable dr Jogja) dan Ali Gardy (pemain suling dan dawai Karmawibhangga dari Situbondo)
Sebagai sebuah proses menyatukan energi, semangat, dan paritisipasi warga kampung, maka dirancanglah sebuah event budaya Launching Glintung Kultur. Rangkaian kegiatan mulai 20, 26, dan 27 April 2019.
Kegiatan ini dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat, dirancang, dipersiapkan, dan dikerjakan bersama, dengan semangat bergotong-royong, yang merupakan nilai-nilai ciri khas masyarakat nusantara.
Glintung, Jejak Agraris dan Budaya
Dosen sejarah Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono memaparkan, Kampung Glintung merupakan kampung bersejarah. Paling tidak jejak awal sejarahnya didapati pada awal abad X Masehi. Yakni ketika masa pembukaan persawahan di area hutan Bantaran.
Pada masa selanjutnya, kampung kuno Glintung bertumbuh menjadi kampung agraris. Kala itu terdapat sawah, kebun dan tegal untuk budidaya aneka tanaman produktif.
Budidaya tanaman menyejarah di Kampung Glintung sejak lama. Permukiman di kampung kuno ini ditopang oleh ketersediaan air. Utamanya dari sejumlah sungai kecil (kalen) maupun sumber air (belik). Dengan demikian, telah semenjak lama warga Glintung adaptif memanfaatkan air. Dwi lebih condong menyebutnya sebagai kampung dengan karakter eko-kultura.
Zaman berubah dan Kampung Glintung bermetamorfosa dari kampung rural yang agraris menjadi kampung urban yang non agraris. Namun pola hidup yang berkarakter eko-kultura dipandang tetap relevan untuk masa kini. Meski Glintung telah berupah menjadi kampung urban.
Untuk itulah pada sekitar 2016 lalu, Kampung Glintung dikelola dengan wawasan lingkungan. Salah satu bentuknya adalah dengan mengemas kampungnya menjadi kampung go green. Seiring waktu, masyarakat kemudian mengubahnya menjadi Glintung Kultur.
Dwi menilai lebih tepat dengan sebutan Kampung Eko-kultur. Yakni kampung yang menaruh perhatian kuat kepada tradisi bertanam, gerakan menabung air lewat sumur injeksi, serta diperkaya dengan pemberian porsi perhatian kepada seni budaya lokal.
Menurut Dwi pengemasan kampung yang demikian semestinya bukan semata diorientasikan untuk kepariwisataan saja. Lebih dari itu adalah untuk merevitalisasi ekologi kampung. Tak ada alasan lantaran merupakan kampung urban, lantas ekologi kampung dikorbankan.
Justru pada kampung urban, wawasan ekologis merupakan model pengelolalan kampung yang perlu mendapat proritas. Kampung urban mesti pula menjadi kampung hijau, kampung yang bijak mengelola potensi dan permasalahan air, kampung yang peduli pelestarian dan pemanfaatan seni budaya lokal.
"Semoga formulasi baru berhasil didapatkan untuk ketahanan kampung, baik ketahanan ekologis maupun ketahanan kultural," ungkap Dwi. (*)
Editor: Yosi Arbianto