Ekskavasi oleh tim Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur menampakkan struktur kaki candi Mananjung di Desa Pendem Kota Batu (Foto: Dwi Cahyono for BATUKITA.com)
BATUKITA, Kota Batu - Masih ingat dengan prasasti Sangguran atau Minto Stone? Sebuah prasasti asli dari daerah Batu yang kini ada di Skotlandia. Dalam prasasti itu menyebut bangunan suci Mananjung. Yakni sebuah bangunan suci milik kelompok pande (besi).
Bangunan suci ini penting karena menjadi dasar Raja Mataram Kuno Dyah Wawa memberikan status perdikan ke wilayah Sangguran, sebuah desa di daerah Batu. Itu terjadi pada Saka 850 atau 928 Masehi (abad 10).
Letak dan wujud bangunan suci Mananjung ini awalnya masih menjadi misteri. Bahkan asumsi yang dibangun, Candi Songgoriti-lah bangunan suci yang dimaksud. Juga ada pendapat bahwa reruntuhan Punden Mojorejo (Punden Kajang) adalah bangunan suci Mananjung itu.
Nah, pada akhir 2019, ada asumsi baru yang didukung fakta-fakta kuat. Bahwa bangunan suci Mananjung adalah sebuah reruntuhan candi yang ditemukan di Desa Pendem, Junrejo Kota Batu.
Adalah Anton Adi Wibowo (40) yang pertama kali menemukannya. Tatkala ia menggali tanah di utara areal makam Desa Pendem untuk menanam pohon alpukat. Itu terjadi pada 25 November 2019.
Tidak dinyana didapatkan adanya struktur bata-bata besar (kuno). Temuannya ini kemudian dilaporkan kepada aparat dan institusi terkait. Hingga akhirnya pihak BPCB Jawa Timur turun dan yakin itu situs bersejarah. Dan sebagai upaya pengamanan dan penyelamatan arkeologis (rescue Achaeology), BPCB membuat pagar.
Lalu dilaksanakanlah Rescue-Archaeology sebagai ekskavasi tahap I pada 12-14 Desember 2019. Ekskavasi lanjutan tahap II diglar pada 18-21 Desember 2019 dan tahap III tanggal 7-16 Februari 2020.
Dari tiga kali ekskavasi itu, terkuak bahwa temuan itu adalah candi. Menariknya, bukan candi yang terbuat dari bahan batu andesit (batu kali) seperti halnya pada kebanyakan candi di Malang Raya, melainkan candi dari bahan bata.
Pada ekskavasi tahap II, terlebih lagi pada tahap III, sosoknya sebagai candi kian kentara. Dengan didapatkannya komponen candi yang berupa sumuran (perigi) pada 14 Februari 2020.
Dalam ekskavasi tahap III, apa yang telah dihipotesakan sebelumnya (ekskavasi tahap I dan II) bahwa peninggalan arkeologis yang ditemukan di Desa Pendem sebagai bangunan candi terbukti akurasinya.
Candi ini diidentifikasi sebagai candi Hindu sekte Siwa oleh Arkeolog dari BPCB Jawa Timur di Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho. Lalu diperkirakan candi di Pendem ini dibangun pada era pra-Majapahit.
Menurutnya, dimensi ukuran bata-bata kuno yang membentuk struktur bangunan candi ini dihipotesiskan berasal dari massa pra Majapahit. Bahkan, bisa jadi dari masa Kadiri - Singosari (abad XI-XIII Masehi)".
Ukuran dari bata-batanya (P = 35 cm, L = 25 cm, dan Tb = 9 cm). Jika bata di situs Pendem dibandingkan dengan bata di situs Sekaran (33X 25 X 8 Cm), terlihat sedikit lebih besar.
Menurut hipotesis dosen arkeologi Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono, ada kemungkinan embrio candi Pendem paling tidak pada awal abad X Masehi.
Ini terkait berita di dalam prasasti Sangguran (14 Suklapaksa bulan Srawana tahun Saka 850 Saka = 2 Agustus 928 Masehi). Berita dalam prasasti Sangguran ini menyebut "sang hyang Prasadha kabhaktyan i Mananjung (tempat peribadatan untuk kebaktian di Mananjung).
Lokasi Mananjung ini tempat para undagi penempa logam (gusali, pada besi jenis senjata) di desa kuno (wanua) Sangguran melakukan aktivitas peribadatannya.
Penetapan sebidang tanah di desa (wanua) Sangguran sebagai "tanah perdikan (sima)" terkait dengan biaya penyelanggaraan ritus religis pada bangunan suci (baca "candi") di Mananjung itu.
Pada Sejarah Daerah Batu : Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011), Dwi menulis "acangan lokasi Mananjung pada desa Mojorejo dan sekitarnya sengaja diberikan dengan mem-pertimbangkan tempat penemuan prasasti Sangguran".
Dengan adanya temuan reruntuhan candi di Desa Pendem, yang "bertetangga desa" atau di sekitar Desa Mojorejo saat ini, maka terdapat cukup alasan untuk menghipotesiskan bahwa prasadha kabhaktyan di Mananjung berada di Pendem. Yakni reruntuhan candi yang baru ditemukan itu.
Bila benar bahwa candi di Pendem adalah "prasadha kabhaktyan di Mananjung" yang diberitakan prasasti Sangguran (928 Masehi), berarti temuan ini sangat penting bagi kesejarahan daerah Batu. Mengingat sejauh telah diketemukan, prasasti Sangguran merupakan prasasti "tertua" di Batu.
Oleh karena prasasti adalah "sumber data jenis tekstual", maka prasasti Sangguran layak untuk dipredikati sebagai "petanda [tekstual] mengenai mula sejarah daerah Batu".
Begitu pula, apabila benar bahwa candi di Pendem adalah bangunan suci di Mananjung, maka reruntuhan candi di Desa Pendem boleh dikatakan "petanda [artefaktual] tentang mula sejarah daerah Batu".
Demikianlah, penemuan candi di Pendem bukan saja menambah khasanah percandian bagi daerah Batu. Lebih daripada itu adalah didapatkan petanda artefaktual tentang "mulai sejarah daerah Batu".
Peleo-Ekologi Lokasi Candi Mananjung
M. Dwi Cahyono menegaskan, penemuan reruntuhan candi di Desa Pendem bisa dihipotesiskan sebagai "candi di Mananjung", yang diberitakan dalam prasasti Sangguran (prasada kabhaktyan ing Mananjung).
Lokasinya di lembah sebelah timur Gunung Wukir. Bukit yang tak begitu besar ini dapat dilihat dengan jelas dari arah reruntuhan candi itu diketemukan.
Areal di sebelah barat dan selatannya dilintasi oleh "sungai purba" Brantas pada lembah di sisi timur dari Gunung Wukir.
Mula-mula Brantas mengalir dari arah utara ke selatan, lantas berbelok tajam menjadi arah barat ke timur. Titik kelok tepat berada di sebelah timur Punden Kajang di wilayah Desa Mojorejo.
Ada kemungkinan, sebelum prasasti Sangguran dihadiahkan oleh Thomas Stanford Raffles (1811-1816) kepada Lord Minto, tempat asal darinya sangat mungkin di Punden Kajang.
Konon, Kajang masuk di dalam wilayah "desa lama" Ngandat. Sehingga sebutan lain dari prasasti ini adalah "Prasasti Ngandat". Sekarang Ngandat merupakan salah satu dari dua dusun pada Desa Mojorejo. Lokasi Ngandat di sebelah selatan jalan poros Malang-Batu.
Dusun di sebelah utara jalan poros itu adalah Dusun Kajang. Posisi Punden Kajang relatif "segaris lurus" dengan areal temuan candi di Pendem. Namun keduanya terpisah oleh aliran Sungai Brantas yang mengalir dengan arah utara-selatan.
Menilik aliran Brantas, yang seolah menjadi batas alamiah di sisi barat dan selatan Desa Pendem, bentang areal desa ini tergambar melereng atau "menanjung" menuju ke aliran Brantas. Pada areal ini bentuk alirannya seperti "huruf L". Menanjung bisa diartikan ada daratan yang menjorok ke perairan.
Menilik topografisnya yang menanjung itu, bisa jadi nama kuno -- sebelum bernama "Pendem" -- itu adalah "Mananjung".
Pada masa Hindu-Buddha di sekitar abad X Masehi, Mananjung masuk di dalam wilayah desa kuno Sangguran, boleh jadi merupakan "anak desa (anak wanua) "dari Sangguran.
Oleh karena itu bisa difahami bila bangunan suci bagi warga Desa Sangguran terletak tak jauh dari areal tinggalnya, yaitu di Mananjung. Namanya kini, yakni "Pendem".
Nama Pendem, bisa jadi terkait adanya bangunan lama di DAS Brantas yang terpendam (dipendam). Termasuk di dalamnya bangunan candi dan permukiman yang lantas "terpendam (bahasa Jawa: kependem) tanah di areal ini.
Adanya erosi dari arah utara dan timur melereng menuju ke arah aliran Bantas, menjadi musabab bagi terpendamnya jejak artefaktual di desa yang bernama "Pendem" ini. Seperti tergambar pada reruntuhan candi yang terpendam tanah di Desa Pendem ini.
Gunung Wukir (kata "wukir" berarti : gunung") menjadi "arah pengkiblatan (orientasi)" dari Candi Mananjung tersebut.
Prakiraan atas orientasinya itu mempertimbangkan indikasi letak tangga candi di sisi timur.
Memang, dari lokasi Candi Mananjung, Gunung Wukir bisa dilihat dengan jelas.
Apabila benar demikian, Gunung Wukir sebagai "gunung suci (holly mountain) ". Apalagi konon bukit ini dilegendakan sebagai potongan puncak Gunung Arjuno yang dibawa ke arah selatan dengan cara "dipukul" oleh Semar.
Gunung inilah yang boleh jadi adalah "Rabut Jalu (istilah "jalu" menunjuk pada taji ayam jantan. Pada susastra gancaran "Pararaton" diceritakan sebagai tempat dimana Bango Samparan "manepi" dan memperoleh petunjuk dari langit agar mencari dan menemukan si kecil Angrok di areal perjudian. Karena dialah yang bakal membantu Bango Samparan terbebas dari jerat hutang.
Kata "jalu" yang menjadi petanda kejantanan (jaban = lanang) dapat dihubungkan dengan sungai (kali) Lanang. Faktanya, Kali Lanang bertemu dengan aliran Brantas di Dusun Torang Tutup pada utara Gunung Wukir.
Arsitektural Candi Mananjung
M. Dwi Cahyono menjelaskan, semenjak ekskavasi tahap II dan III, sosok temuan struktur bata di Desa Pendem Kota Batu sebagai "bangunan candi" kian kentara.
Candi dari bata ini diketahui berbangun bujur sangkar (7, 5 x 7,5 meter). Sangatlah mungkin, komponen bangunan yang berhasil didapat itu berupa kaki candi (basement). Kaki candi ini mulai terlihat di kedalaman kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sekitarnya.
Indikator "tubuh candi" dikuatkan oleh adanya komponen candi berupa "semuran candi (perigi)" berbangun bujur sangkar (2,1 X 2,1 meter). Letaknya tepat di sentrum (tengah) dari penemuan kaki candi itu.
Memang, pada umumnya, sumuran candi ditempatkan di titik tengah kaki candi. Sumuran candi berdinding bata di keempat sisinya, dengan catatan dinding di sisi timur ada indikasi dijebol paksa oleh penggali liar. Sangat boleh jadi, sebelumnya ada yang menjarah peripih di dalam wadah peripih (garbhapatra) yang semula dipendam tanah dan ditempatkan di dasar semuran candi.
Terlihat bahwa bekas galian liar tersebut ditimbuni dengan batu-batu kerakal dan pecahan batu candi hingga menggunduk di atas sumuran candi.
Bagian bawah tubuh candi terlihat pada beberapa bagian di permukaan kaki candi. Amat mungkin tubuh, atap dan kemuncak candi roboh dan longsor ke empat penjuru (timur, selatan, barat dan utara) dari kaki candi. Sehingga kini keberadaannya masih di bawah tanah.
Boleh jadi, di bawah kaki candi ini terdapat komponen candi lain, yaitu batur (saubasrment). Hingga ekskavasi tahap III belum terungkapkan berapa tinggi kaki dan batur candi. Oleh karena ekskavasi baru berhasil menampakkan keseluruhan sisi atas kaki candi.
Selain itu, ada indikasi bahwa tangga dan pipi tangga candi berada di sisi timur. Jika benar demikian, candi ini menghadap ke arah timur dan berorientasi (mengkiblat) ke arah barat. Amat boleh jadi berorientasi ke puncak "gunung suci" Wukir.
Reruntuhan candi yang ditemukan amat mungkin merupakan "candi induk". Apabila kelak ekskavasi dilanjutkan, bisa jadi bakal didapat "candi-candi perwara" di sisi timur dari candi induk ini. Bahkan, boleh jadi pula terdapat pagar keliling dan gapura halaman utama candi.
Semoga tinggalan yang kini berada di dalam tanah itu belum terjarah. Sehingga jika kelak dilakukan ekskavasi lanjutan, areal gali dapat lebih diperluas dan diperdalam untuk bisa mendapatkan komponen-komponen dari kompleks arsitektur candi Mananjung.
Ada kemungkinan luas keseluruhan halaman candi meliputi seluruh areal makam desa Pendem serta lahan di sekitarnya. Adapun permukaan tanah asal, diperkirakan setinggi jalan yang berada di selatan makam. Jika benar demikian, berarti reruntuhan kompleks candi ini tertimbun (kependem) cukup luas, namun tidak begitu dalam.
Sampai sejauh ini belum diketemukan adanya arca di areal ekskavasi. Namun, bila menilik bahwa tidak jauh dari areal penemuan candi, yaitu di sebelah baratnya terdapat punden desa "Mbok Rindo", masih didapatkan adanya arca-arca batu berlatar agama Hindu sekte Siwa.
Temuan yang kini masih didapati berupa Yoni -- sayang pasangannya (lingga) telah raib -- dan Nandi, yang muasalnya boleh jadi dari candi Mananjung itu.
Selain kedua arca itu, menurut laporan inventarisasi pada ROC (Rapporten Oudhkundige Comissie op Java en Madera) tahun 1901, dan dalam OV (Oudhkundige Verslaag) kuartal ke-4 tahun 1923, konon terdapat pula sejumlah arca. Seperti Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardhini dan Agastya. Maupun sebuah Yoni.
Pada sebelah selatan reruntuhan candi Mananjung ini, tepatnya di bawah tower telepon seluler, terdapat temuan berupa lesung baru besar (mungkin bejana batu). Lalu temuan lainnya berupa lumpang batu yang kini berada di fondasi rumah tinggal warga
Riwayat Pemberitaan Situs Pendem
M. Dwi Cahyono menjelaskan, pada ROC tahun 1901 maupun OV tahun 1923, diberitakan peninggalan ikonografis berupa arca-arca berlatar agama Hindu sekte Siwa di Desa Pendem. Namun, dalam pemberitaan itu sama sekali tak disebut adanya reruntuhan candi di desa ini.
Sebaliknya, pada catatan perjalanan J.J. Van Sevenhoven ke beberapa areal kebun kopi di sub-area barat Malang Raya pada 1812, dia menyebut sebuah candi.
Dalam catatan berjudul "Antekeningen Gehouden op eene reis over Jawa van Batavia naar de Ooshoek inde jare 1812" diperoleh kabar adanya candi di dekat aliran sungai (Brantas).
M. Dwi Cahyono menghipotesiskan, candi yang dimaksud adalah candi di Desa Pendem ini. Kemungkinan menghilangnya candi di Pendem terjadi antara 1812-1901.
Pada 1812, candi itu masih dilihat oleh Sevenhoven. Namun pada pemberitaan tahun 1901 dan 1923 tidak lagi disebut. Boleh jadi, menghilangnya candi itu karena terpendam tanah (kependem).
Dalam catatannya, Sevenhoven mengabarkan perjalanan dari Malang menuju ke arah barat hingga di Ngantang.
Mula-mula ia melewati areal kebon kopi Naya (kini bernama "Dinoyo"). Lalu melintasi Alu (boleh jadi adalah "Ngelo di Kelurahan Tlogomas), lantas Kaling (lengkapnya "Sengkaling").
Kemudian melintasi sungai (besar kemungkinan adalah Brantas). Setelah melintasi candi, berikutnya sampai di perkebunan kopi Batu. Lalu menuju ke Songgoriti, Desa Rata (Lebakroto, kini lazim sebut " Nggowo"), dan melintasi pula Gunung Dwarawati, hingga akhirnya tiba di Ngantang.
Bila menilik alur perjalannya itu, pasca Kaling -- tepatnya setelah belok ke utara di pertigaan Pendem, Sevenhoven menyeberangi Brantas yang mengalir dari barat menuju ke arah timur.
Pada seberang utara dari Brantas itulah Sevenhoven menjumpai adanya candi. Pertanyaanya adalah "candi manakah yang dijumpainya itu?".
Pada buku Sejarah Daerah Batu Lintas Masa (2011), M. Dwi Cahyono mengatakan " Di halaman 90, saya telah berani menyatakan candi ini harus dicari tidak jauh dari Pendem. Kemungkinan merupakan candi Hindu-Siwa di Desa Pendem (Punden Mbok Rondo), yang menyisakan tinggalan berupa arca Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardini, fragmen arca Agastya, sebuah Yoni, dsb,".
Disamping itu, Dwi Cahyono juga menyatakan dalam bukunya bahwa tidak jauh dari Punden Mbok Rondo juga dijumpai bata-bata kuno, yang sebagian masih menampakkan struktur bangunannya. Tak jauh di selatannya ada sebuah lumpang batu. Sebuah lumpang batu lainnya pernah dijumpai di sebelah baratnya, yang kini telah hilang.
"Apa yang sembilan tahun lalu (2011) saya perkirakan itu, pada 2019-2020 terbuktilah adanya. Yakni didapatkannya temuan spektakuler berupa reruntuhan candi di Pendem," katanya.
Selain berhasil penemuan reruntuhan candi, selama proses ekskavasi juga ditemukan dua buah koin bertuliskan "Nederlandsch Indie" berangka 1825, berdiameter 22 mm.
Didapati pula temuan berupa sebuah pecahan botol, yang mengindikasikan botol Masa Kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa dahulu bangunan ini pernah terlihat di permukaan tanah, dan digali pada sekitaran tahun 1825, kemudian koin itu jatuh.
Apakah penggalian itu adalah penjarahan terhadap candi yang keberadaannya telah ditulis dalam catatan perjalanan Sevenhoven tahun 1812 tersebut? Bisa jadi demikian, sebab terlihat jelas bahwa konon candi ini pernah digali liar, lantas ditimbun dengan batu-bstu kerakal dan pecahan bata- bata candi.
Dwi menamakan (secara hipotetik) situs candi ini sebagai "Candi Mananjung". Suatu nama yang terkait dengan isi informasi di dalam prasasti Sangguran (928 Masehi).
Hal penting dari temuan ini bagi Kota Batu adalah didapatkannya tambahan satu candi. Sehingga menambah khasanah percandian bagi Kota Batu selain candi patirthan Songgoriti.
Candi bata ini sekaligus merupakan "petanda mulai sejarah daerah Batu".(bersambung)
Editor: Yosi Arbianto
Baca juga:
Bangunan suci ini penting karena menjadi dasar Raja Mataram Kuno Dyah Wawa memberikan status perdikan ke wilayah Sangguran, sebuah desa di daerah Batu. Itu terjadi pada Saka 850 atau 928 Masehi (abad 10).
Letak dan wujud bangunan suci Mananjung ini awalnya masih menjadi misteri. Bahkan asumsi yang dibangun, Candi Songgoriti-lah bangunan suci yang dimaksud. Juga ada pendapat bahwa reruntuhan Punden Mojorejo (Punden Kajang) adalah bangunan suci Mananjung itu.
Nah, pada akhir 2019, ada asumsi baru yang didukung fakta-fakta kuat. Bahwa bangunan suci Mananjung adalah sebuah reruntuhan candi yang ditemukan di Desa Pendem, Junrejo Kota Batu.
Adalah Anton Adi Wibowo (40) yang pertama kali menemukannya. Tatkala ia menggali tanah di utara areal makam Desa Pendem untuk menanam pohon alpukat. Itu terjadi pada 25 November 2019.
Tidak dinyana didapatkan adanya struktur bata-bata besar (kuno). Temuannya ini kemudian dilaporkan kepada aparat dan institusi terkait. Hingga akhirnya pihak BPCB Jawa Timur turun dan yakin itu situs bersejarah. Dan sebagai upaya pengamanan dan penyelamatan arkeologis (rescue Achaeology), BPCB membuat pagar.
Lalu dilaksanakanlah Rescue-Archaeology sebagai ekskavasi tahap I pada 12-14 Desember 2019. Ekskavasi lanjutan tahap II diglar pada 18-21 Desember 2019 dan tahap III tanggal 7-16 Februari 2020.
Dari tiga kali ekskavasi itu, terkuak bahwa temuan itu adalah candi. Menariknya, bukan candi yang terbuat dari bahan batu andesit (batu kali) seperti halnya pada kebanyakan candi di Malang Raya, melainkan candi dari bahan bata.
Pada ekskavasi tahap II, terlebih lagi pada tahap III, sosoknya sebagai candi kian kentara. Dengan didapatkannya komponen candi yang berupa sumuran (perigi) pada 14 Februari 2020.
Dalam ekskavasi tahap III, apa yang telah dihipotesakan sebelumnya (ekskavasi tahap I dan II) bahwa peninggalan arkeologis yang ditemukan di Desa Pendem sebagai bangunan candi terbukti akurasinya.
Candi ini diidentifikasi sebagai candi Hindu sekte Siwa oleh Arkeolog dari BPCB Jawa Timur di Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho. Lalu diperkirakan candi di Pendem ini dibangun pada era pra-Majapahit.
Menurutnya, dimensi ukuran bata-bata kuno yang membentuk struktur bangunan candi ini dihipotesiskan berasal dari massa pra Majapahit. Bahkan, bisa jadi dari masa Kadiri - Singosari (abad XI-XIII Masehi)".
Ukuran dari bata-batanya (P = 35 cm, L = 25 cm, dan Tb = 9 cm). Jika bata di situs Pendem dibandingkan dengan bata di situs Sekaran (33X 25 X 8 Cm), terlihat sedikit lebih besar.
Menurut hipotesis dosen arkeologi Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono, ada kemungkinan embrio candi Pendem paling tidak pada awal abad X Masehi.
Ini terkait berita di dalam prasasti Sangguran (14 Suklapaksa bulan Srawana tahun Saka 850 Saka = 2 Agustus 928 Masehi). Berita dalam prasasti Sangguran ini menyebut "sang hyang Prasadha kabhaktyan i Mananjung (tempat peribadatan untuk kebaktian di Mananjung).
Lokasi Mananjung ini tempat para undagi penempa logam (gusali, pada besi jenis senjata) di desa kuno (wanua) Sangguran melakukan aktivitas peribadatannya.
Penetapan sebidang tanah di desa (wanua) Sangguran sebagai "tanah perdikan (sima)" terkait dengan biaya penyelanggaraan ritus religis pada bangunan suci (baca "candi") di Mananjung itu.
Pada Sejarah Daerah Batu : Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011), Dwi menulis "acangan lokasi Mananjung pada desa Mojorejo dan sekitarnya sengaja diberikan dengan mem-pertimbangkan tempat penemuan prasasti Sangguran".
Dengan adanya temuan reruntuhan candi di Desa Pendem, yang "bertetangga desa" atau di sekitar Desa Mojorejo saat ini, maka terdapat cukup alasan untuk menghipotesiskan bahwa prasadha kabhaktyan di Mananjung berada di Pendem. Yakni reruntuhan candi yang baru ditemukan itu.
Bila benar bahwa candi di Pendem adalah "prasadha kabhaktyan di Mananjung" yang diberitakan prasasti Sangguran (928 Masehi), berarti temuan ini sangat penting bagi kesejarahan daerah Batu. Mengingat sejauh telah diketemukan, prasasti Sangguran merupakan prasasti "tertua" di Batu.
Oleh karena prasasti adalah "sumber data jenis tekstual", maka prasasti Sangguran layak untuk dipredikati sebagai "petanda [tekstual] mengenai mula sejarah daerah Batu".
Begitu pula, apabila benar bahwa candi di Pendem adalah bangunan suci di Mananjung, maka reruntuhan candi di Desa Pendem boleh dikatakan "petanda [artefaktual] tentang mula sejarah daerah Batu".
Demikianlah, penemuan candi di Pendem bukan saja menambah khasanah percandian bagi daerah Batu. Lebih daripada itu adalah didapatkan petanda artefaktual tentang "mulai sejarah daerah Batu".
Peleo-Ekologi Lokasi Candi Mananjung
M. Dwi Cahyono menegaskan, penemuan reruntuhan candi di Desa Pendem bisa dihipotesiskan sebagai "candi di Mananjung", yang diberitakan dalam prasasti Sangguran (prasada kabhaktyan ing Mananjung).
Lokasinya di lembah sebelah timur Gunung Wukir. Bukit yang tak begitu besar ini dapat dilihat dengan jelas dari arah reruntuhan candi itu diketemukan.
Areal di sebelah barat dan selatannya dilintasi oleh "sungai purba" Brantas pada lembah di sisi timur dari Gunung Wukir.
Mula-mula Brantas mengalir dari arah utara ke selatan, lantas berbelok tajam menjadi arah barat ke timur. Titik kelok tepat berada di sebelah timur Punden Kajang di wilayah Desa Mojorejo.
Ada kemungkinan, sebelum prasasti Sangguran dihadiahkan oleh Thomas Stanford Raffles (1811-1816) kepada Lord Minto, tempat asal darinya sangat mungkin di Punden Kajang.
Konon, Kajang masuk di dalam wilayah "desa lama" Ngandat. Sehingga sebutan lain dari prasasti ini adalah "Prasasti Ngandat". Sekarang Ngandat merupakan salah satu dari dua dusun pada Desa Mojorejo. Lokasi Ngandat di sebelah selatan jalan poros Malang-Batu.
Dusun di sebelah utara jalan poros itu adalah Dusun Kajang. Posisi Punden Kajang relatif "segaris lurus" dengan areal temuan candi di Pendem. Namun keduanya terpisah oleh aliran Sungai Brantas yang mengalir dengan arah utara-selatan.
Menilik aliran Brantas, yang seolah menjadi batas alamiah di sisi barat dan selatan Desa Pendem, bentang areal desa ini tergambar melereng atau "menanjung" menuju ke aliran Brantas. Pada areal ini bentuk alirannya seperti "huruf L". Menanjung bisa diartikan ada daratan yang menjorok ke perairan.
Menilik topografisnya yang menanjung itu, bisa jadi nama kuno -- sebelum bernama "Pendem" -- itu adalah "Mananjung".
Pada masa Hindu-Buddha di sekitar abad X Masehi, Mananjung masuk di dalam wilayah desa kuno Sangguran, boleh jadi merupakan "anak desa (anak wanua) "dari Sangguran.
Oleh karena itu bisa difahami bila bangunan suci bagi warga Desa Sangguran terletak tak jauh dari areal tinggalnya, yaitu di Mananjung. Namanya kini, yakni "Pendem".
Nama Pendem, bisa jadi terkait adanya bangunan lama di DAS Brantas yang terpendam (dipendam). Termasuk di dalamnya bangunan candi dan permukiman yang lantas "terpendam (bahasa Jawa: kependem) tanah di areal ini.
Adanya erosi dari arah utara dan timur melereng menuju ke arah aliran Bantas, menjadi musabab bagi terpendamnya jejak artefaktual di desa yang bernama "Pendem" ini. Seperti tergambar pada reruntuhan candi yang terpendam tanah di Desa Pendem ini.
Gunung Wukir (kata "wukir" berarti : gunung") menjadi "arah pengkiblatan (orientasi)" dari Candi Mananjung tersebut.
Prakiraan atas orientasinya itu mempertimbangkan indikasi letak tangga candi di sisi timur.
Memang, dari lokasi Candi Mananjung, Gunung Wukir bisa dilihat dengan jelas.
Apabila benar demikian, Gunung Wukir sebagai "gunung suci (holly mountain) ". Apalagi konon bukit ini dilegendakan sebagai potongan puncak Gunung Arjuno yang dibawa ke arah selatan dengan cara "dipukul" oleh Semar.
Gunung inilah yang boleh jadi adalah "Rabut Jalu (istilah "jalu" menunjuk pada taji ayam jantan. Pada susastra gancaran "Pararaton" diceritakan sebagai tempat dimana Bango Samparan "manepi" dan memperoleh petunjuk dari langit agar mencari dan menemukan si kecil Angrok di areal perjudian. Karena dialah yang bakal membantu Bango Samparan terbebas dari jerat hutang.
Kata "jalu" yang menjadi petanda kejantanan (jaban = lanang) dapat dihubungkan dengan sungai (kali) Lanang. Faktanya, Kali Lanang bertemu dengan aliran Brantas di Dusun Torang Tutup pada utara Gunung Wukir.
Arsitektural Candi Mananjung
M. Dwi Cahyono menjelaskan, semenjak ekskavasi tahap II dan III, sosok temuan struktur bata di Desa Pendem Kota Batu sebagai "bangunan candi" kian kentara.
Candi dari bata ini diketahui berbangun bujur sangkar (7, 5 x 7,5 meter). Sangatlah mungkin, komponen bangunan yang berhasil didapat itu berupa kaki candi (basement). Kaki candi ini mulai terlihat di kedalaman kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sekitarnya.
Indikator "tubuh candi" dikuatkan oleh adanya komponen candi berupa "semuran candi (perigi)" berbangun bujur sangkar (2,1 X 2,1 meter). Letaknya tepat di sentrum (tengah) dari penemuan kaki candi itu.
Sumuran atau parigi yang ada di tengah candi (Foto: Dwi Cahyono for BATUKITA.com)
Memang, pada umumnya, sumuran candi ditempatkan di titik tengah kaki candi. Sumuran candi berdinding bata di keempat sisinya, dengan catatan dinding di sisi timur ada indikasi dijebol paksa oleh penggali liar. Sangat boleh jadi, sebelumnya ada yang menjarah peripih di dalam wadah peripih (garbhapatra) yang semula dipendam tanah dan ditempatkan di dasar semuran candi.
Terlihat bahwa bekas galian liar tersebut ditimbuni dengan batu-batu kerakal dan pecahan batu candi hingga menggunduk di atas sumuran candi.
Bagian bawah tubuh candi terlihat pada beberapa bagian di permukaan kaki candi. Amat mungkin tubuh, atap dan kemuncak candi roboh dan longsor ke empat penjuru (timur, selatan, barat dan utara) dari kaki candi. Sehingga kini keberadaannya masih di bawah tanah.
Boleh jadi, di bawah kaki candi ini terdapat komponen candi lain, yaitu batur (saubasrment). Hingga ekskavasi tahap III belum terungkapkan berapa tinggi kaki dan batur candi. Oleh karena ekskavasi baru berhasil menampakkan keseluruhan sisi atas kaki candi.
Selain itu, ada indikasi bahwa tangga dan pipi tangga candi berada di sisi timur. Jika benar demikian, candi ini menghadap ke arah timur dan berorientasi (mengkiblat) ke arah barat. Amat boleh jadi berorientasi ke puncak "gunung suci" Wukir.
Reruntuhan candi yang ditemukan amat mungkin merupakan "candi induk". Apabila kelak ekskavasi dilanjutkan, bisa jadi bakal didapat "candi-candi perwara" di sisi timur dari candi induk ini. Bahkan, boleh jadi pula terdapat pagar keliling dan gapura halaman utama candi.
Semoga tinggalan yang kini berada di dalam tanah itu belum terjarah. Sehingga jika kelak dilakukan ekskavasi lanjutan, areal gali dapat lebih diperluas dan diperdalam untuk bisa mendapatkan komponen-komponen dari kompleks arsitektur candi Mananjung.
Ada kemungkinan luas keseluruhan halaman candi meliputi seluruh areal makam desa Pendem serta lahan di sekitarnya. Adapun permukaan tanah asal, diperkirakan setinggi jalan yang berada di selatan makam. Jika benar demikian, berarti reruntuhan kompleks candi ini tertimbun (kependem) cukup luas, namun tidak begitu dalam.
Sampai sejauh ini belum diketemukan adanya arca di areal ekskavasi. Namun, bila menilik bahwa tidak jauh dari areal penemuan candi, yaitu di sebelah baratnya terdapat punden desa "Mbok Rindo", masih didapatkan adanya arca-arca batu berlatar agama Hindu sekte Siwa.
Temuan yang kini masih didapati berupa Yoni -- sayang pasangannya (lingga) telah raib -- dan Nandi, yang muasalnya boleh jadi dari candi Mananjung itu.
Selain kedua arca itu, menurut laporan inventarisasi pada ROC (Rapporten Oudhkundige Comissie op Java en Madera) tahun 1901, dan dalam OV (Oudhkundige Verslaag) kuartal ke-4 tahun 1923, konon terdapat pula sejumlah arca. Seperti Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardhini dan Agastya. Maupun sebuah Yoni.
Pada sebelah selatan reruntuhan candi Mananjung ini, tepatnya di bawah tower telepon seluler, terdapat temuan berupa lesung baru besar (mungkin bejana batu). Lalu temuan lainnya berupa lumpang batu yang kini berada di fondasi rumah tinggal warga
Riwayat Pemberitaan Situs Pendem
M. Dwi Cahyono menjelaskan, pada ROC tahun 1901 maupun OV tahun 1923, diberitakan peninggalan ikonografis berupa arca-arca berlatar agama Hindu sekte Siwa di Desa Pendem. Namun, dalam pemberitaan itu sama sekali tak disebut adanya reruntuhan candi di desa ini.
Sebaliknya, pada catatan perjalanan J.J. Van Sevenhoven ke beberapa areal kebun kopi di sub-area barat Malang Raya pada 1812, dia menyebut sebuah candi.
Dalam catatan berjudul "Antekeningen Gehouden op eene reis over Jawa van Batavia naar de Ooshoek inde jare 1812" diperoleh kabar adanya candi di dekat aliran sungai (Brantas).
M. Dwi Cahyono menghipotesiskan, candi yang dimaksud adalah candi di Desa Pendem ini. Kemungkinan menghilangnya candi di Pendem terjadi antara 1812-1901.
Pada 1812, candi itu masih dilihat oleh Sevenhoven. Namun pada pemberitaan tahun 1901 dan 1923 tidak lagi disebut. Boleh jadi, menghilangnya candi itu karena terpendam tanah (kependem).
Dalam catatannya, Sevenhoven mengabarkan perjalanan dari Malang menuju ke arah barat hingga di Ngantang.
Mula-mula ia melewati areal kebon kopi Naya (kini bernama "Dinoyo"). Lalu melintasi Alu (boleh jadi adalah "Ngelo di Kelurahan Tlogomas), lantas Kaling (lengkapnya "Sengkaling").
Kemudian melintasi sungai (besar kemungkinan adalah Brantas). Setelah melintasi candi, berikutnya sampai di perkebunan kopi Batu. Lalu menuju ke Songgoriti, Desa Rata (Lebakroto, kini lazim sebut " Nggowo"), dan melintasi pula Gunung Dwarawati, hingga akhirnya tiba di Ngantang.
Bila menilik alur perjalannya itu, pasca Kaling -- tepatnya setelah belok ke utara di pertigaan Pendem, Sevenhoven menyeberangi Brantas yang mengalir dari barat menuju ke arah timur.
Pada seberang utara dari Brantas itulah Sevenhoven menjumpai adanya candi. Pertanyaanya adalah "candi manakah yang dijumpainya itu?".
Pada buku Sejarah Daerah Batu Lintas Masa (2011), M. Dwi Cahyono mengatakan " Di halaman 90, saya telah berani menyatakan candi ini harus dicari tidak jauh dari Pendem. Kemungkinan merupakan candi Hindu-Siwa di Desa Pendem (Punden Mbok Rondo), yang menyisakan tinggalan berupa arca Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardini, fragmen arca Agastya, sebuah Yoni, dsb,".
Disamping itu, Dwi Cahyono juga menyatakan dalam bukunya bahwa tidak jauh dari Punden Mbok Rondo juga dijumpai bata-bata kuno, yang sebagian masih menampakkan struktur bangunannya. Tak jauh di selatannya ada sebuah lumpang batu. Sebuah lumpang batu lainnya pernah dijumpai di sebelah baratnya, yang kini telah hilang.
"Apa yang sembilan tahun lalu (2011) saya perkirakan itu, pada 2019-2020 terbuktilah adanya. Yakni didapatkannya temuan spektakuler berupa reruntuhan candi di Pendem," katanya.
Selain berhasil penemuan reruntuhan candi, selama proses ekskavasi juga ditemukan dua buah koin bertuliskan "Nederlandsch Indie" berangka 1825, berdiameter 22 mm.
Pecahan tembikar dan botol zaman kolonial yang menjadi bukti bahwa pada 1812-1901 masehi, candi ini pernah dibongkar dan akhirnya terpendam (dipendam) (Foto: Dwi Cahyono for BATUKITA.com)
Didapati pula temuan berupa sebuah pecahan botol, yang mengindikasikan botol Masa Kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa dahulu bangunan ini pernah terlihat di permukaan tanah, dan digali pada sekitaran tahun 1825, kemudian koin itu jatuh.
Apakah penggalian itu adalah penjarahan terhadap candi yang keberadaannya telah ditulis dalam catatan perjalanan Sevenhoven tahun 1812 tersebut? Bisa jadi demikian, sebab terlihat jelas bahwa konon candi ini pernah digali liar, lantas ditimbun dengan batu-bstu kerakal dan pecahan bata- bata candi.
Dwi menamakan (secara hipotetik) situs candi ini sebagai "Candi Mananjung". Suatu nama yang terkait dengan isi informasi di dalam prasasti Sangguran (928 Masehi).
Hal penting dari temuan ini bagi Kota Batu adalah didapatkannya tambahan satu candi. Sehingga menambah khasanah percandian bagi Kota Batu selain candi patirthan Songgoriti.
Candi bata ini sekaligus merupakan "petanda mulai sejarah daerah Batu".(bersambung)
Editor: Yosi Arbianto
Baca juga:
- Sejarah Daerah Batu-Malang (1): Awal Mula Kehidupan Manusia di Daerah (Kota) Batu
- Sejarah Daerah Batu-Malang (2): Jejak Masa Megalitikum di Kota Batu
- Sejarah Daerah Batu-Malang (3): Religiositas Warga Batu Mulai Masa Megalitikum
- Sejarah Daerah Batu-Malang (4): Desa Batu Ada Sejak Hindu-Buddha Abad 10
- Sejarah Daerah Batu-Malang (5): Prasasti Sangguran Bukti Daerah Batu Istimewa
- Sejarah Daerah Batu-Malang (5A): Candi Mananjung Ditemukan
- Sejarah Daerah Batu-Malang (6): Raja Mpu Sindok Wariskan Candi Songgoriti
- Sejarah Daerah Batu Malang (6-A): Pemandian Warisan Mpu Sindok Diteruskan Belanda
- Sejarah Daerah Batu-Malang (7): Ken Arok, Lakon Kontroversial dari Batu-Malang
- Sejarah Daerah Batu-Malang (8): Zaman Majapahit, Batu-Malang Desa Agraris Otonom
- Sejarah Daerah Batu-Malang (9): Awal dan Corak Pengaruh Islam di Kota Batu
- Sejarah Daerah Batu Malang (10): Mbah Mbatu Bukan yang Pertama
- Sejarah Daerah Batu Malang (11): Awal Penjajah Kolonial Masuk Daerah Batu
- Sejarah Daerah Batu Malang (12): Masuknya Pertanian Kolonial di Daerah Batu
- Sejarah Daerah Batu Malang (13): Juragan & Saudagar Masa Kolonial
- Sejarah Daerah Batu Malang (14): Era Belanda, Batu di Bawah Kecamatan Sisir
- Sejarah Daerah Batu Malang (15): Jepang Datang ke Batu Hanya 60 Orang
- Sejarah Daerah Batu Malang (16): Batu Masa Kemerdekaan
- Sejarah Daerah Batu Malang (17): Agresi Militer 1, Belanda Kuasai Batu Lebih Dulu
- Sejarah Daerah Batu Malang (18): Pujon Jadi Basis Pejuang dan Pengungsi saat Agresi Belanda I
- Sejarah Daerah Batu Malang (19): Sebagian Nama Pahlawan saat Agresi Militer Belanda
- Sejarah Daerah Batu Malang (20): Kota Batu Saksi Bisu Kerugian Perjanjian Renville
- Sejarah Daerah Batu Malang (21): Mulai 1950, Batu di Bawah Kawedanan Pujon
- Sejarah Daerah Batu Malang (22): Tahun 1993-2001 Berstatus Kotatif Batu