Butiran es di rerumputan Pegunungan Dieng Jawa Tengah (Foto Instagram @aryadidarwanto for BATUKITA.com)
BATUKITA.COM-Kota Malang - Sering kita bertanya mengapa suhu udara pada musim kemarau khususnya di wilayah pegunungan, menjadi lebih dingin dibanding saat musim penghujan. Padahal sinar matahari bersinar terik mulai pagi hingga sore hari.
Di pegunungan Dieng pada 26 Juli 2020 lalu, suhu saat pagi bahkan mencapai minus tiga derajat Celcius.
Seperti yang diungkapkan oleh pemilik akun Instagram @aryadidarwanto. Ia memosting foto butiran es pada rerumputan di pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Ia juga menyertakan termometer untuk mengukur suhu di Dieng.
Penurunan suhu hingga -3 derajat Celcius ini tak pernah terjadi kala musim penghujan.
Bagaimana penjelasannya?
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menjelaskan, udara dingin yang terjadi pada malam hingga pagi hari itu karena panas di bumi (akibat sinar matahari siang) terpantul ke langit tanpa terhalang oleh awan. Saat malam itu langit sangat cerah, nyaris tak ada awan sama sekali.
"Semakin cerah langit di musim kemarau akan semakin dingin udara dirasakan pada malam dan pagi hari," kata Herizal.
Saat menjelang dan pada puncak musim kemarau, langit umumnya cerah di sepanjang hari. Kondisi ini menyebabkan radiasi matahari saat siang tidak banyak mengalami rintangan untuk masuk permukaan bumi. Sehingga suhu bumi pada siang hari menjadi hangat.
Sebaliknya, pada malam hari radiasi bumi yang lepas ke angkasa juga berlangsung maksimal karena langit yang cerah.
"Akibatnya, ketika malam hari radiasi yang diterima dari matahari nol, sedangkan radiasi bumi yang lepas ke angkasa maksimal. Pada kondisi seperti ini kondisi udara pada malam hari menjelang dan pada puncak kemarau lebih dingin dibanding kondisi udara malam hari di musim hujan," papar Herizal.
Di pegunungan Dieng pada 26 Juli 2020 lalu, suhu saat pagi bahkan mencapai minus tiga derajat Celcius.
Seperti yang diungkapkan oleh pemilik akun Instagram @aryadidarwanto. Ia memosting foto butiran es pada rerumputan di pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Ia juga menyertakan termometer untuk mengukur suhu di Dieng.
Penurunan suhu hingga -3 derajat Celcius ini tak pernah terjadi kala musim penghujan.
Bagaimana penjelasannya?
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menjelaskan, udara dingin yang terjadi pada malam hingga pagi hari itu karena panas di bumi (akibat sinar matahari siang) terpantul ke langit tanpa terhalang oleh awan. Saat malam itu langit sangat cerah, nyaris tak ada awan sama sekali.
"Semakin cerah langit di musim kemarau akan semakin dingin udara dirasakan pada malam dan pagi hari," kata Herizal.
Saat menjelang dan pada puncak musim kemarau, langit umumnya cerah di sepanjang hari. Kondisi ini menyebabkan radiasi matahari saat siang tidak banyak mengalami rintangan untuk masuk permukaan bumi. Sehingga suhu bumi pada siang hari menjadi hangat.
Sebaliknya, pada malam hari radiasi bumi yang lepas ke angkasa juga berlangsung maksimal karena langit yang cerah.
"Akibatnya, ketika malam hari radiasi yang diterima dari matahari nol, sedangkan radiasi bumi yang lepas ke angkasa maksimal. Pada kondisi seperti ini kondisi udara pada malam hari menjelang dan pada puncak kemarau lebih dingin dibanding kondisi udara malam hari di musim hujan," papar Herizal.
Butiran es di rerumputan Pegunungan Dieng Jawa Tengah (Foto Instagram @aryadidarwanto for BATUKITA.com)
Sementara itu, prakirawan cuaca BMKG Nanda Alfuadi menyebut, udara dingin yang terjadi di malam menjelang pagi hari, ada dua hal yang mempengaruhi.
Dua hal tersebut yakni kandungan uap air di atmosfer dan kecepatan angin. "Kandungan uap air di atmosfer yang cukup rendah menyebabkan radiasi gelombang panjang dari bumi, yang dapat menghangatkan atmosfer bumi lapisan bawah, terlepas ke angkasa," kata Nanda.
Sehingga, energi yang digunakan untuk menghangatkan atmosfer di lapisan bawah akan lebih kecil dibandingkan ketika kandungan uap air di atmosfer relatif cukup banyak.
Hal ini secara kasat mata, lanjut Nanda, juga terlihat dari berkurangnya tutupan awan dalam beberapa pekan ini dibandingkan dengan bulan lalu.
"Kondisi atmosfer yang cukup kering tersebut diperkuat dengan kecepatan angin dari selatan Indonesia yang cukup kuat. Sehingga seolah udara di Indonesia bagian selatan terasa semakin dingin," terang Nanda.
Meski demikian, saat ini belum merupakan puncak kemarau. Sehingga kondisi ini bukan merupakan kondisi yang paling signifikan. "Diprakirakan pada Agustus dan awal September nanti kondisi dingin akan semakin terasa di wilayah Jawa, Bali, NTB, dan NTT," jelas Nanda.(*)
Dua hal tersebut yakni kandungan uap air di atmosfer dan kecepatan angin. "Kandungan uap air di atmosfer yang cukup rendah menyebabkan radiasi gelombang panjang dari bumi, yang dapat menghangatkan atmosfer bumi lapisan bawah, terlepas ke angkasa," kata Nanda.
Sehingga, energi yang digunakan untuk menghangatkan atmosfer di lapisan bawah akan lebih kecil dibandingkan ketika kandungan uap air di atmosfer relatif cukup banyak.
Hal ini secara kasat mata, lanjut Nanda, juga terlihat dari berkurangnya tutupan awan dalam beberapa pekan ini dibandingkan dengan bulan lalu.
"Kondisi atmosfer yang cukup kering tersebut diperkuat dengan kecepatan angin dari selatan Indonesia yang cukup kuat. Sehingga seolah udara di Indonesia bagian selatan terasa semakin dingin," terang Nanda.
Meski demikian, saat ini belum merupakan puncak kemarau. Sehingga kondisi ini bukan merupakan kondisi yang paling signifikan. "Diprakirakan pada Agustus dan awal September nanti kondisi dingin akan semakin terasa di wilayah Jawa, Bali, NTB, dan NTT," jelas Nanda.(*)
Penulis: Ardi Nugroho
Editor: Yosi Arbianto