Ilustrasi vaksin COVID-19 yang telah diproduksi beberapa perusahaan farmasi dunia (Foto: courtesy kp-press for BATUKITA.com)
BATUKITA.COM-Malang - Para orang tua belum bisa mengandalkan vaksinasi COVID-19 sebagai penangkal serangan virus corona menyongsong pembelajaran tatap muka siswa sekolah.
Para orang tua dan juga civitas sekolah tetap harus menjalankan protokol kesehatan ketat bila pembelajaran tatap muka diberlakukan.
Vaksinasi COVID-19 tidak bisa diandalkan karena, hingga saat ini belum ada rekomendasi dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) tentang
vaksin COVID-19 pada anak.
Bahkan, sampai saat ini tidak ada penelitian medis tentang pemberian vaksin COVID-19 pada anak.
Pernyataan resmi IDAI itu dikabarkan oleh dr. Endah Setyarini, Sp.A, Ketua IDAI Perwakilan Jatim 4.
"Itu pernyataan resmi IDAI," ungkap dr Endah dalam diskusi online bertema 'Vaksin Covid-19 dan Kesiapan Anak Menjalani Pembelajaran Tatap Muka' yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung dan Jurnalis Sahabat Anak (JSA) didukung Unicef Indonesia, Rabu (18/11/2020).
Menurut Endah, pembelajaran tatap muka belum direkomendasikan selama suatu daerah belum menjadi zona hijau, atau setidaknya zona kuning.
Endah menambahkan, selain zona risiko, ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan sebelum memutuskan akan membuka sekolah.
Pertama yaitu melakukan pemetaan kasus positif per kelurahan, pemetaan lokasi sekolah termasuk dari mana saja muridnya berasal. ”Karena bisa saja sekolahnya zona hijau tapi muridnya ada yang dari zona merah dan terjadi penularan sesama siswa, lalu ke orang dewasa di sekitarnya,” ujar Endah.
Selain itu perlu diperhatikan pula transportasi siswa ke sekolah. Siswa yang menggunakan kendaraan umum tentunya akan lebih berisiko. Selain itu juga perlu diperhatikan kontak siswa atau guru dengan orang lain.
Sementara itu, Wakil Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia Jatim, dr. Atik Choirul Hidajah, M.Kes membeber data sebaran COVID-19 pada anak.
Menuut Atik, jumlah kasus COVID-19 pada anak di Indonesia mencapai 9,7 persen dari total penderita COVID-19 atau sejumlah 24.966 anak.
Secara rinci jumlah tersebut terbagi menjadi 2,4 persen anak usia 0-5 tahun dan 7,3 persen anak usia 6-18 tahun.
Menurutnya, untuk kembali membuka sekolah dan melakukan kembali pembelajaran tatap muka tentunya dibutuhkan kajian secara ilmiah.
"Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan pilihan paling baik untuk mencegah penularan antara siswa serta penularan siswa kepada guru,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia meminta orangtua mewaspadai imbas akibat PJJ bagi kesehatan anak.
Diantaranya Computer Vision Syndrome seperti gangguan mata, otot dan penglihatan akibat terlalu lama menatap layar gawai.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Andriyanto mengatakan, uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Jatim tidak bisa dielakkan.
"Pembelajaran tatap muka tentu membutuhkan kesadaran untuk menjalankan protokol kesehatan,” jelasnya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai saat pandemi. "Yang pertama, ada penelitian yang menunjukkan kekhawatiran anak akan kehilangan kecerdasan atau terjadi cognitive loss akibat pandemi ini," kata Andriyanto.
Tidak hanya anak-anak kalangan ekonomi bawah, namun anak-anak dari keluarga menengah atas pun bisa mengalami hal yang sama.
Child Protection Spesialist UNICEF, Naning Pudjijulianingsih menegaskan, prioritas saat ini adalah bagaimana semua terlindungi.
"Yang penting bagaimana kesiapan sekolah dan guru. Kemudian siapa yang mengawasi kalau PTM dijalankan. Apakah perlu ada Satgas?,” ujarnya.
Menurutnya, jika PTM diberlakukan pada jenjang PAUD dan TK akan lebih berisiko karena dikhawatirkan siswa masih kesulitan menjalankan protokol kesehatan.
Hal itu berbeda dengan pelajar dengan tingkatan pendidikan lebih tinggi seperti SMP atau SMA.
Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini menambahkan, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan baik oleh orang tua maupun anak-anak saat pandemi.
Bagi orang tua salah satunya adalah bersiap menghadapi kebiasaan baru seperti mendampingi anak belajar secara kekiniaan.
Bagi anak-anak didorong mampu memanfaatkan IT untuk mendukung masa depan dan bukan dikendalikan oleh IT, anak anak memahami dan mampu menerapkan pola hidup baru yang sehat, serta anak mampu merespon dan bertindak bijak untuk menjadi agen perubahan bagi kehidupan yang baik di masa depannya. (*)
Editor: Yosi Arbianto